37 Kebiasaan orang tua yang mempengaruhi perilaku anak (bagian 2)
Kebiasaan 11 :
Hadiah untuk perilaku buruk anak
Pada
saat kita bersama anak berada di tempat umum, si anak minta dibelikan
mainan. Lalu kita katakan tidak boleh. Si anak terus merengek dan
rengekannya semakin kuat hingga menjadi teriakan dan ada gerakan
perlawanan. Kita tetap mengatakan tidak boleh. Dan pada saat kita berada
di antrian bayar kasir, dia merengek lagi dengan kekuatan penuh untuk
membuat kita malu di depan umum. Dan akhirnya, tibalah saat yang
dinantikan oleh anak dengan mendengar pernyataan dari kita sebagai orang
tua : “Ya sudah, kamu ambil satu. Satu saja ya!”.
Apa akibatnya?
Saat
kita memberi pernyataan, …”Ya sudah, kamu ambil satu.” … kita telah
memberikan hadiah pada perilaku buruk yang dilakukannya. Dan sejak saat
itu juga, anak mempelajari sesuatu bahwa untuk bisa mendapatkan sesuatu
yang diinginkan maka dia harus membuat perlawanan yang cukup heboh di
tempat yang “strategis”. Anak mempelajari bahwa apa pun permintaannya
dapat dikabulkan bila melalui perlawanan yang gigih. Kejadian ini akan
terus diulangi dan diuji-cobakan pada permintaan yang lain.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Tetaplah
berlaku konsisten, tidak perlu malu atau takut dikatakan sebagai orang
tua yang ‘tega’ atau ‘kikir’. Ingatlah selalu bahwa kita sedang mendidik
anak. Sekali kita konsisten, anak tak akan pernah mencobanya lagi.
Ingat sekali lagi : tetaplah KONSISTEN dan pantang menyerah! Apa pun
alasannya, jangan pernah memberi hadiah pada perilaku buruk si anak.
Kebiasaan 12 :
Merasa bersalah karena tidak bisa memberikan yang terbaik
Dalam
kehidupan saat ini, dimana sebagian besar orang tua banyak menghabiskan
waktunya di kantor/ tempat kerja daripada bersama anaknya, menyebabkan
banyak orang tua merasa bersalah atas situasi ini. Akibatnya para orang
tua menyetujui perilaku buruk anaknya dengan ungkapan yang sering
dilontarkan, “Biarlah dia seperti ini mungkin karena saya juga yang
jarang bertemu dengannya…”
Apa akibatnya?
Semakin
orang tua merasa bersalah terhadap keadaan, semakin banyak kita
menyemai perilaku buruk anak kita. Semakin kita memaklumi perilaku buruk
yang diperbuat anak, akan semakin sering ia melakukannya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Apa
pun yang bisa kita berikan secara benar pada anak kita adalah hal yang
terbaik. Tiap keluarga memiliki masalah yang unik, tidak sama. Ada orang
punya kelebihan pada aspek financial tapi miskin waktu bertemu dengan
anak, sebaliknya ada yang punya banyak waktu bersama tapi kekurangan
dari sisi ekonomi. Jadi yakinlah bahwa dalam kondisi apa pun kita tetap
bisa memberikan yang terbaik. Jadi, jangan pernah memaklumkan hal-hal
yang tidak baik. Lakukanlah pendekatan kualitas jika kita hanya punya
sedikit waktu, gunakan waktu yang minim itu untuk bisa berbagi rasa
sepenuhnya dengan anak kita. Menyisihkan waktu di antara sisa-sisa
tenaga kita, memang tidak mudah. Tapi lakukanlah demi mereka dan
keluarga kita, maka akan terbiasa.
Kebiasaan 13 :
Mudah menyerah dan pasrah
Pernahkah
kita mengucapkan kata-kata : “Duh.. anak saya itu memang keras
betul…saya tidak sanggup lagi untuk mengaturnya.” Atau “Biar sajalah,
terserah apa maunya. Saya sudah tidak sanggup lagi untuk mendidiknya.”
Apa akibatnya?
Dalam
kondisi kita sebagai orang tua tidak tegas dan mudah menyerah, si anak
justru keras dan lebih tegas. Akibatnya dalam banyak hal, si anak jauh
lebih dominan dan mengatur orang tuanya. Akibat lebih lanjut orang tua
sulit mengendalikan perilaku anaknya dan cenderung pasrah.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Belajar
dan berusahalah dengan keras untuk menjadi lebih tegas dalam mengambil
keputusan, tingkatkan watak keteguhan hati dan pantang menyerah. Bila
kita mudah menyerah, kepada siapa kita akan melimpahkan tugas kita ini
dalam mendidik anak?
Kebiasaan 14 :
Marah yang berlebihan
Pernahkah
kita memarahi anak kita karena melakukan kesalahan karena kelengahan
kita menjaga mereka? Bahkan tidak jarang kita melakukan kekerasan fisik.
Apa akibatnya?
Sering
kita menyamakan persepsi antara mendidik dan memarahi. Perlu diingat,
memarahi adalah cara mendidik yang paling buruk. Pada saat memarahi
anak, kita tidak sedang mendidik mereka, melainkan melampiaskan tumpukan
kekesalan kita karena tidak bisa mengatasi masalah dengan baik dan
merupakan upaya untuk melemparkan kesalahan pada anak kita. Dan setelah
selesai marah kita akan menyesal dan cenderung tidak konsisten terhadap
apa yang telah kita tetapkan. Rasa menyesal ini juga sering kita ganti
dengan memberikan dispensasi atau membolehkan hal-hal yang sebelumnya
kita larang. Bila hal ini terjadi, anak kita akan selalu berusaha
memancing kemarahan kita, kemudian kita kembali menyesal dan si anak
menikmati hasilnya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan
pernah bicara pada saat marah! Pergilah menghindar hingga amarah reda.
Setelah itu bicara “tegas” dan bukan berbicara “keras”. Bicara tegas
adalah bicara dengan nada yang datar, dengan serius dan menatap wajah
serta matanya dalam-dalam. Bicara tegas adalah bicara pada saat pikiran
kita rasional. Sedangkan bicara keras adalah pada saat pikiran kita
dikuasai emosi, sehingga kata-kata kita tidak bisa terkontrol. Anak yang
dimarahi cenderung tidak bertambah baik, ia akan menimpali dengan
kesalahan yang sama. Maka bertindaklah tegas jika kita ingin anak kita
menjadi lebih baik.
Kebiasaan 15 :
Gengsi untuk menyapa
Kita
pasti pernah mengalami bahwa kita telanjur marah besar terhadap anak,
biasanya amarah terbawa selama berhari-hari, sehingga hubungan kita
dengan anak menjadi renggang.
Apa akibatnya?
Akibat
rasa kesal yang masih tersisa dan ditambah “gengsi”, kita enggan
menyapa anak kita. Masing-masing pihak menunggu untuk memulai kembali
hubungan yang normal.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita
sebagai orang tua yang harus memulai saat anak mulai menunjukkan
tanda-tanda perdamaian dan mengikuti keinginan kita, jangan tunda lagi,
dan bukalah pembicaraan dengannya. Ajaklah kembali bicara seperti
biasanya, jika perlu mintalah maaf atas apa yang telah terjadi diantara
kita dan anak kita. Anak pun akan ikutan meminta maaf, sehingga tanpa
disadari oleh si anak, dia akan merasa bahwa kita tidak suka pada sikap
anak kita dan bukan pada pribadi anak kita.
Kebiasaan 16 :
Memaklumi yang tidak pada tempatnya
Kebanyakan
orang tua bila melihat anak berperilaku usil dan suka mengganggu,
cenderung mengatakan : “Ya, maklumlah namanya juga anak-anak…”
Apa akibatnya?
Karena
kita selalu memaklumi tindakan keliru yang dilakukan oleh anak-anak,
otomatis si anak berpikir bahwa perilakunya saat ini sudah benar, karena
tidak ada teguran. Sehingga ia akan selalu mengulangi tindakan keliru
atau buruk itu. Akan berdampak lebih buruk lagi, bila perilaku ini
dipertahankan hingga ia dewasa.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita
tidak perlu memaklumi suatu hal yang tidak perlu dimaklumi. Kita harus
mendidik setiap anak tanpa kecuali dengan tegas (ingat : bukan keras)
sejak usia 2 tahun. Semakin dini usianya, semakin mudah untuk diajak
kerja sama. Ia akan mau diajak bekerja sama selama kita selalu
mengajaknya berdialog dari hati ke hati, tegas dan konsisten. Tidak
perlu menunggu hingga usianya beranjak dewasa. Semakin bertambah usia,
semakin tinggi tingkat kesulitan untuk mengubah perilaku buruknya.
Kebiasaan 17 :
Penggunaan istilah yang tidak jelas maksudnya
Seberapa
sering kita sebagai orang tua mengungkapkan pernyataan seperti, “Awas
ya, kalau kamu ikut Papa/mama, tidak boleh nakal!” atau “Awas, kalo mau
ikut Papa/mama jangan macam-macam ya”.
Apa akibatnya?
Kita
sering menggunakan istilah-istilah yang tidak memiliki maksud yang
jelas seperti istilah “nakal” atau “jangan macam-macam”. Istilah ini
akan membingungkan anak kita. Dalam benak mereka bertanya apa yang
dimaksud dengan nakal, tingkah laku seperti apa yang masuk dalam
kategori nakal, dan perilaku apa yang masuk kategori macam-macam. Selain
bingung, anak juga akan menebak-nebak arti dari istilah nakal atau
macam-macam. Sehingga, mereka mencoba-coba untuk mengetahui perilaku
yang masuk kategori nakal atau macam-macam itu.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bicaralah
dengan jelas dan spesifik, misalnya, “Sayang, bila kamu ingin ikut
Papa/mama, kamu tidak boleh minta mainan, permen dan tidak boleh
berteriak di kasir seperti minggu lalu ya”. Sehingga anak jelas memahami
keinginan kita dan berusaha memenuhinya. Jangan lupa untuk menetapkan
kesepakatan bersama apa konsekuensinya jika hal itu dilanggar.
Kebiasaan 18 :
Mengharap perubahan instan
Ketika
anak terlambat bangun, tidak membereskan tempat tidur atau sulit
dimandikan, kita ingin bahwa anak kita berubah total dalam jangka waktu
sehari.
Apa akibatnya?
Karena
terbiasa hidup dalam budaya “instan” seperti mie instan, susu instan,
the instan, sehingga setiap anak berbuat salah, kita sering ingin sebuah
perubahan yang instan juga. Apabila kita sering memaksakan perubahan
pada anak kita dalam waktu singkat tanpa tahapan yang wajar, kemungkinan
besar anak sulit memenuhinya. Dan ketika ia gagal dalam memnuhi
keinginan kita, ia akan frustasi dan tidak yakin bisa melakukannya lagi.
Akibatnya ia memilih untuk melakukan perlawanan seperti banyak memberi
alasan, acuh tak acuh atau marah-marah.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika
kita mengharapkan perubahan kebiasaan pada anak, berikanlah waktu untuk
tahapan-tahapan perubahan yang rasional untuk bisa dicapainya. Hindari
target perubahan yang tidak mungkin bisa dicapainya. Bila mungkin ajak
ia melakukan perubahan dari hal yang paling mudah. Biarkan ia memilih
hal yang paling mudah menurutnya uantuk diubah. Jika ia berhasil, itu
akan memotivasi anak untuk melakukan perubahan lainnya yang lebih sulit.
Puji dan jika perlu dirayakan setiap perubahan yang berhasil
dilakukannya, sekecil dan sesederhana apa pun perubahan tersebut. Ini
untuk menunjukkan betapa seriusnya perhatian kita terhadap usaha yang
telah dilakukannya. Pusatkan pujian kita pada usaha kerasnya dan jangan
memusatkan pada hasilnya yang kadang-kadang kurang memuaskan kita.
Kebiasaan 19 :
Pendengar yang buruk
Suatu
hari anak kita pulang terlambat, seharusnya siang ternyata baru pulang
sore hari. Kita tidak mendapat keterangn apa pun darinya dan kita merasa
kesal menunggu, sekaligus juga khawatir. Lalu pada saat anak kita
sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan
pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap anak hendak bicara, kita selalu
memotongnya. Akibatnya ia malah tidak mau bicara dan marah pada kita.
Apa akibatnya?
Pada
saat seperti itu, yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak adalah ingin
didengarkan dan ingin diperhatikan. Padahal keterlambatannya ternyata
disebabkan adanya tugas mendadak dari sekolah. Ketika anak tidak
mendapat kesempatan untuk berbicara, ia merasa tidak dihargai dan
akhirnya dia juga berbalik untuk tidak mau mendengarkan kata-kata kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Mulai
saat ini jadilah pendengar yang baik. Perhatikan setiap ucapan
ceritanya, sehingga kita mengetahui permasalahan secara utuh dan benar.
Cukup dengarkan dahulu dengan memberi tanggapan antusias dan empati.
Tahanlah untuk tidak berkomentar apa pun sampai anak kita mengatakan,
“Menurut Papa/mama bagaimana?”. Ingatlah pesan yang disampaikan oleh
Tuhan melalui anggota tubuh kita, yaitu Tuhan memberi kita 2 telinga dan
1 mulut, yang artinya Tuhan menghendaki kita 2 kali mendengarkan dan 1
kali berbicara. Dan jangan dibalik.
Kebiasaan 20 :
Selalu menuruti permintaan anak
Apakah
anak kita adalah anak semata wayang? Atau anak laki-laki yang
ditunggu-tunggu dari beberapa anak perempuan kakak-kakaknya? Atau
mungkin anak yang sudah 10 tahun ditunggu-tunggu baru kita dapatkan?
Fenomena ini seringkali menjadikan orang tua teramat sayang pada
anaknya, sehingga setiap kemauan anak selalu dituruti.
Apa akibatnya?
Seperti
seorang raja kecil, semakin hari tuntutannya semakin aneh-aneh dan
kuat. Jika ini sudah menjadi kebiasaan maka kita akan sulit sekali
membendungnya. Anak yang dididik dengan cara ini akan menjadi anak yang
super egois, tidak kenal toleransi dan tidak bisa bersosialisasi.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Betapapun
sayangnya kita pada anak jangan pernah memberlakukan pola asuh seperti
ini. Rasa sayang tidak harus ditunjukkan dengan menuruti segala
kemauannya. Jika kita benarsayang, maka kita harus mengajarinya tentang
nilai baik dan buruk, yang benar dan salah, yang boleh dan tidak boleh
dilakukan.Kita harus menerapkan pola asuh sesuai tipologi sifat
dasarnya. Jika tidak, rasa sayng kita akan “kebablasan” dan
menjadikannya anak yang “semau gue” atau egois/manja.
Bersambung ......