
37 Kebiasaan orang tua yang mempengaruhi perilaku anak (bagian 3 - habis)
Kebiasaan 21 :
Terlalu banyak larangan
Seberapa
banyak kita jumpai orang tua yang ingin menjadikan anaknya seperti apa
yang dia inginkan secara sempurna (Perfectionist)? Yang cenderung
membentuk anaknya sesuai dengan keinginannya, anaknya harus begini dan
tidak boleh begitu, dilarang melakukan ini dan itu. Hal tersebut
terkadang dilakukan secara berlebihan, sampai-sampai hal yang paling
pribadi pun ikut-ikutan diaturnya.
Apa akibatnya?
Anak
tercipta untuk menjadi dirinya sendiri dengan cara yang benar sesuai
nilai-nilai yang berlaku. Pada saat kita menerapkan pola asuh
perfectionist, pada saatnya anak tidak tahan lagi dengan cara kita. Ia
pun akan melakukan perlawanan, baik dengan cara menyakiti diri, dengan
perlawanan tersembunyi atau dengan perang terbuka.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kurangilah
sifat kita yang perfeksionis. Berilah ijin kepada anak untuk melakukan
banyak hal yang baik dan positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog.
Bangunlah situasi saling mempercayai antara kita dan anak kita.
Kurangilah jumlah larangan yang berlebihan. Gunakan
kesepakatan-kesepakatan untuk memberikan batas yang lebih baik.
Kebiasaan 22 :
Terlalu cepat menyimpulkan
Pada
saat anak pulang terlambat dan hendak menceritakan penyebabnya, kita
memotong pembicaraan dengan mengatakan, “sudah-sudah tidak perlu banyak
alasan”. Atau “ Ah, Papa/mama tahu, kamu pasti main ke tempat itu lagi
kan?!”.
Apa akibatnya?
Kita
cenderung memotong pembicaraan pada saat anak kita sedang memberikan
penjelasan dan segera menentukan kesimpulan akhir yang biasanya
cenderung memojokkan anak kita. Padahal kesimpulan kita belum tentu
benar dan seandainya benar cara ini akan menyakitkan hati si anak,
sehingga anak akan menyimpulkan bahwa kita adalah orang tua yang sok
tahu, tidak mau memahami keadaan dan menyebalkan. Dan akibatnya anak
malah akan benar-benar melakukan hal-hal yang kita tuduhkan kepadanya.
Ia tidak pernah mau mendengarkan nasihat kita dan ia akan pergi pada
saat kita sedang berbicara padanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan
pernah memotong pembicaraan dan mengambil kesimpulan terlalu dini.
Dengarkan, dengarkan dan dengarkan sambil memberi tanggapan positif dan
antusias. Ada saatnya bahwa kita akan diminta bicara, tentunya setelah
anak kita sudah selesai dengan penjelasannya.
Kebiasaan 23 :
Mengungkit kesalahan masa lalu
Seringkali
kita mengungkit-ungkit catatan kesalahan yang pernah dibuat anak kita,
contohnya, “Tuh kan Papa/mama bilang apa? Kamu tidak pernah mau dengerin
sih, sekarang kejadian kan. Makanya dengerin kalo orang tua ngomong.
Dasar kamu memang anak bebal sih”.
Apa akibatnya?
Kita
berharap, dengan mengungkit kejadian masa lalu mengenai catatan
kesalahannya, anak akan belajar dari masalah. Tapi yang terjadi malah
sebaliknya. Ia akan sakit hati dan berusaha mengulangi
kesalahan-kesalahannya sebagai tindakan pembalasan dari sakit hatinya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika
kita tidak ingin anak kita berperilaku buruk lagi, jangan pernah
mengungkit-ungkit lagi masa lalunya. Cukup dengan tatapan mata, jika
perlu rangkul anak kita. Ikutlah berempati sampai dia mengakui
kesalahannya. Ungkapkan pernyataan seperti, “Y, sayang kita semua
manusia biasa, setiap orang pasti pernah keliru dan salah. Papa/mama
yakin ini adalah pelajaran berharga buat kita semua dan mulai besok kamu
yang memutuskan yang terbaik”. Dan bila ternyata anak kita yang
mengungkit kekeliruannya di masa lalu, kita cukup memberikan anggukan
kepala serta pujian bahwa dia mau belajar dari pengalaman. Berilah
pujian dengan ungkapan, “Kamu memang anak papa yang luar biasa. Papa
bangga kamu bisa mengambil hikmah positif dari kejadian yang kamu
alami”.
Kebiasaan 24 :
Suka membandingkan
Kebanyakan
orang tua, entah sadar atau tidak justru sering membanding-bandingkan
anaknya dengan orang lain/ satu sama lain. Contohnya, “Coba kalo kamu
mau rajin belajar seperti kakak, pasti nilai rapor kamu tidak seperti
ini!”.
Apa akibatnya?
Jika
kita sering melakukan kebiasaan membandingkan satu dengan yang lain,
maka akan mengakibatkan anak makin tidak menyukai kita dan merasa iri
dan benci pada si pembanding. Sementara itu, anak si pembanding akan
merasa arogan dan tinggi hati. Anak yang sering dibandingkan akan
menjadi anak pemangkang dan berperilaku makin buruk serta berupaya
menjatuhkan si pembanding dengan berbagai cara. Kita secara tidak sadar
telah memicu pertengkaran diantara anak-anak kita sendiri.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan
pernah sekali-kali membanding-bandingkan satu dengan lainnya, karena
setiap anak terlahir dengan membawa perbedaan. Catat perubahan perilaku
masing-masing anak. Jika ingin membandingkan, bandingkanlah perilaku
anak yang sama dimasa lalu dengan perilaku anak yang sama di masa kini.
Motivasilah terus untuk maju. Pujilah segala usaha kerasnya. Berikan
ungkapan, “Sayang, Papa/mama perhatikan dulu kamu itu hebat lho
seringkali menolong adikmu. Tapi kok sekarang Papa/mama tidak pernah
lagi melihat kamu melakukannya ya? Kenapa sayang?” atau “Eh, biasanya
anak Papa/mama suka merapikan tempat tidur ya, kenapa hari ini nggak?”.
Kebiasaan 25 :
Paling benar dan paling tahu segalanya
Pernah
tidak kita sebagai orang tua melontarkan pernyataan seperti, “Ah…kamu
ini masih bau kencur tahu apa soal hidup”. Atau “Kamu tau ngga, Papa dan
Mama sudah banyak makan asam garamnya kehidupan, jadi kamu ngga perlu
nasihatin Papa-Mama”.
Apa akibatnya?
Jika
kita memiliki kebiasaan ini, maka kita telah membuat proses komunikasi
dengan anak-anak mengalami jalan buntu. Meskipun kita bermaksud
menunjukkan superioritas kita di depan anak, tapi yang ditangkap anak
malah semacam kesombongan yang luar biasa. Tentu saja tak seorang pun
mau mendengarkan nasihat orang yang sombong.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Seringkali
usia orang tua dijadikan acuan tentang banyaknya pengetahuan dan
pengalaman. Namun untuk saat ini, kondisi itu sudah tidak tepat lagi.
Siapa yang lebih banyak mendapatkan informasi dan banyak mengikuti
kegiatan baik yang bersifat bisnis atau sosial, lokal/internasiona,
dialah yang lebih banyak tahu dan berpengalaman. Seperti seorang pilot,
kepiawaiannya dinilai dari jumlah jam terbang, bukan dinilai berdasarkan
usia. Jadi janganlah pernah merasa menjadi orang yang paling tahu,
paling hebat dan paling banyak makan asam garam.Kita harus selalu ingat
sifat padi yang semakin berisi akan semakin merunduk. Dengarkanlah
setiap masukan yang datang dari anak kita, tanpa merasa lebih rendah.
Bila kita kurang setuju dengan pandangan anak kita, dukunglah idenya
terlebih dahulu, kemudian ceritakan pengalaman kita yang berkaitan
dengan ide tadi.
Kebiasaan 26 :
Saling melempar tanggung jawab
Kita
sering mendengar (atau mungkin mengalami) beberapa suami terhadap istri
atau sebaliknya mengungkapkan pernyataan seperti, “Kamu sih memang
tidak becus mendidik anak,” kata sang suami, kemudian sang istri tak
kalah sengit menjawab, “Enak saja, selama ini kamu kemana saja?” tukas
sang istri. Kemudian ditanggapi lagi oleh sang suami, “Lho itukan tugas
kamu mendidik anak, aku tugasnya mencari nafkah. Jadi kalo ada apa-apa
sama anak, ya kamulah yang paling bertanggung jawab!”. Begitulah
pertempuran mulut yang tiada berujung dan tiada berakhir.
Apa akibatnya?
Mendidik
anak merupakan tanggung jawab orang tua, yaitu bapak dan ibu. Bila
tidak maka proses pendidikan anak akan terasa timpang dan jauh dari
berhasil, sehingga yang sering terjadi adalah saling menyalahkan satu
sama lain. Anak kita akan merasa tindakan buruknya bukan karena
kesalahannya, melainkan disebabkan oleh ketidak becusan salah satu dari
orang tuanya. Jelas anak kita akan merasa terbela dan semakin
berperilaku buruk.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Hentikan
saling menyalahkan sekarang juga! Ambilah tanggung jawab kita selaku
orang tua secara berimbang. Keberhasilan pendidikan ada di tangan kita
berdua dan merupakan kerja sama tim. Belajarlah bagaimana cara mendidik
yang benar dari sumber-sumber yang tepat dan jangan pernah ada alasan
tidak ada waktu. Jadi aturlah waktu kita dengan berbagai cara dan
kompaklah selalu dengan pasangan. Ingat selalu pertanyaan bijak yang
sebaiknya kita ajukan sebelum menyalahkan pasangan kita, dan
renungkanlah, “Apa peran yang sudah saya berikan dalam proses pendidikan
anak-anak saya selama ini?”
Kebiasaan 27 :
Kakak harus selalu mengalah
Ada
seorang kakak beradik, yang diasuh oleh neneknya. Suatu hari adiknya
menangis dan tanpa mengetahui duduk persoalan serta siapa yang salah dan
benar, si nenek selalu memarahi si kakak. Si nenek selalu membela si
adik dan melimpahkan kesalahan pada kakaknya. “Kamu ini gimana sih?
Sudah besar kok tidak mau mengalah dengan adiknya.” Begitu ucapan yang
selalu keluar dari mulut si nenek. Terkadang dibumbui dengan cubitan
pada kakaknya.
Apa akibatnya?
Ada
suatu budaya di negeri ini bahwa anak yang lebih tua harus selalu
mengalah dengan saudaranya yang lebih muda, sehingga tanpa melihat siapa
yang salah dan siapa yang benar, setiap kali adiknya menangis, selalu
kakaknya yang disalahkan, yang mengakibatkan anak yang paling tua tidak
memiliki rasa percaya diri dan membenci adiknya. Lama kelamaan si kakak
mulai banyak melawan atas ketidak adilan ini dan kedua anak bersaudara
ini makin sering bertengkar. Sementara si adik, yang selalu dibela,
menjadi semakin egois dan makin berani menyakiti kakaknya, selalu merasa
benar dan memberontak.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Anak
harus diajari untuk memahami nilai benar dan salah atas perbuatannya
terlepas dari apakah ia lebih muda atau lebih tua usianya. Maka
berlakulah adil. Ketahuilah informasi secara lengkap dari anak kita
secara berimbang pada saat mereka bertengkar. Tunjukkan hal-hal yang
benar dan salah pada masing-masing. Damaikanlah mereka segera, serta
jelaskan nilai-nilai benar yang berlaku dan perlu mereka taati bersama.
Kebiasaan 28 :
Menghukum secara fisik
Dalam
kondisi emosi, kita cenderung menjadi sensitif hingga pada akhirnya
suara kita yang keras berubah menjadi tindakan fisik yang menyakiti
anak.
Apa akibatnya?
Jika
kita terbiasa dengan keadaan ini, maka kita telah mendidiknya menjadi
anak yang kejam dan beringas, suka menyakiti orang lain dan membangkang.
Pada saat ia bersosialisasi, percaya atau tidak anak akan meniru
tindakan kita yang suka memukul. Anak yang sejak kecil terbiasa dipukul
oleh orang tuanya akan menyimpan dendam dalam batinnya. Rasa dendam
terkadang ia lampiaskan kembali pada orangtuanya sendiri, orang lain
atau teman-teman sebayanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan
pernah sekalipun menggunakan hukuman fisik kepada anak, mencubit,
memukul atau manampar bahkan menggunakan alat seperti ikat pinggang atau
rotan. Anak kita adalah anak manusia yang telah dirancang oleh
Penciptanya untuk bisa diatur dengan kata-kata. Bila kata-kata kita
sudah tidak lagi didengar oleh anak, koreksilah segera diri kita, pasti
ada yang salah dengan kebiasaan kita hingga anak tidak menurut.
Seandainya dulu kita pernah diperlakukan demikian oleh orang tua kita,
maafkanlah orang tua kita dan jangan lanjutkan kebiasaan yang sangat
buruk ini pada anak kita. Hukuman pukulan lebih cocok kepada binatang
daripada manusia. Gunakanlah media dialog, pujian dan kelembutan.
Kebiasaan 29 :
Menunda atau membatalkan hukuman
Pernahkah
kita pada saat anak minta dibelikan permen atau mainan, dan anak
merengek, kita lalu menjanjikan konsekuensi hukuman atau sangsi, tetapi
kita menunda atau bahkan membatalkannya karena alasan lupa atau kasihan?
Atau ketika anak berhenti merengek, kita menganggap masalah sudah
selesai dan akhirnya kita menunda atau membatalkan hukuman.
Apa akibatnya?
Bila
kita tidak melaksanakan kesepakatan, anak akan menilai kita sebagai
orang tua yang selalu lupa atau hanya mengancam. Maka sering terjadi
anak mempunyai pola pikir untuk selalu melanggar kesepakatan karena
sangsi atau hukuman tidak pernah terjadi.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika
kita sudah punya kesepakatan dan anak melanggarnya, sangsi atau hukuman
tetap berlaku. Segera laksanakan sangsi itu dan jangan menunda-nunda.
Bila kita kasihan mungkin kita bisa kurangi sangsi atau hukumannya.
Perlu diingat bahwa sangsi atau hukuman yang dimaksud bukanlah sangsi
atau hukuman secara fisik, tetapi lebih pada pengurangan bobot
kesukaannya seperti mengurangi jam menonton televisi, mengurangi jam
bermain, dan lainnya.
Kebiasaan 30 :
Terpancing emosi
Anak-anak
dalam memaksakan kehendak, biasanya sering menguji emosi kita dengan
perilakunya yang mengesalkan seperti menangis, merengek, berguling atau
memukul. Sehingga akhirnya kita sering terpancing, menjadi marah dan
lepas kontrol atau malah cenderung mengalah. Pernahkah kita
mengalaminya?
Apa akibatnya?
Bila
kita terpancing, anak kitalah yang merasa menang, sehingga anak kita
merasa bisa mengendalikan orang tuanya. Jika ini terjadi maka ia akan
terus berusaha untuk mengulanginya pada kesempatan lain dengan pancingan
emosi yang lebih besar lagi.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Yang
terbaik adalah diam, tidak bicara dan tidak menanggapi. Jangan
pedulikan ulahnya. Bial anak menangis katakan padanya bahwa tangisannya
tidak mengubah keputusan kita. Bila anak tidak menangis tapi tetap
berulah, kita katakan saja bahwa kita akan mempertimbangkan keputusan
kita dengan catatan si anak tidak berulah lagi. Setelah itu lakukan aksi
diam. Cukup tatap dengan mata pada anak yang berulah, hingga ia
berhenti berulah. Dalam proses ini kita jangan malu pada orang yang
memperhatikan kita, dan jangan ada pula orang lain yang berusaha
menolong anak kita yang sedang berulah tadi. Sekali kita berhasil
membuat anak kita mengalah, maka selanjutnya dia tidak akan mengulangi
untuk yang kedua kalinya.
Kebiasaan 31 :
Menghukum anak saat kita marah
Seringkali
bila anak kita berbuat salah, kita menjadi marah dan selalu memberikan
sanksi atau hukuman, apalagi ketika emosi kita sedang memuncak. Sanksi
atau hukuman yang kita berikan kebanyakan berupa hukuman secara fisik.
Apa akibatnya?
Pada
saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita,
baik dalam bentuk kata-kata maupun hukuman akan cenderung untuk
menyakiti dan tidak menjadikan anak kita lebih baik, sehingga akan
berakibat fatal, yaitu kita telah melukai hati anak kita dan anak
seringkali tidak bisa melupakannya. Selain itu anak juga bisa mendendam
pada orang tuanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bila
dalam keadaan marah, segeralah menjauh dari anak, seperti masuk kamar
atau mandi dengan air yang sejuk. Jika kita bertekad akan memberikan
sangsi/hukuman, tundalah sampai emosi kita mereda. Stelah itu pilih dan
susunlah bentuk sangsi/hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks
kesalahan yang diperbuatnya. Pilihlah bentuk sangsi/hukuman yang
mengurangi aktivitas yang disukainya, seperti mengurangi waktu main
game, dsb. Harap diingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan
untuk menyakiti.
Kebiasaan 32 :
Mengejek
Ada
orang tua yang suka memeloroti celana anknya untuk jadi bahan tertawaan
atau seorang anak yang sedang menyanyi dan kita mengejeknya,
“Cie…cie…mirip Ariel nich ye”.
Apa akibatnya?
Orang
tua yang biasa menggoda anaknya sering kali secara tidak sadar telah
membuat anaknya kesal. Dan ketika anak memohon kepada kita untuk tidak
menggodanya, kita malah semakin senang telah berhasil membuatnya kesal
atau malu, sehingga hal ini akan membangun ketidak sukaan anak kepada
kita akhirnya anak tidak menghargai kita lagi, karena ia menganggap kita
juga seperti teman-temannya yang suka menggodanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika
kita ingin bercanda dengan anak, pilihlah materi bercanda yang tidak
membuatnya malu atau merendahkan dirinya. Jagalah batas-batas dan
hindari bercanda yang membuat anak kita kesal atau malu. Bila sedang
bercanda, ekspresi anak kita kesal dan meminta kita segera
menghentikannya, segera hentikan dan jika perlu meminta maaflah atas
kejadian yang baru terjadi. Katakanlah kita tidak bermaksud
merendahkannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Kebiasaan 33 :
Menyindir
Beberapa
orang tua terkadang tidak dapat menyampaikan hal-hal yang diinginkannya
dengan baik dan jelas ke pada anak, karene tidak tahu caranya. Karena
sudah mencapai batas kesabarannya, terkadang orang tua mengungkapkan
kemarahannya dengan kata-kata singkat yang pedas dengan maksud menyindir
seperti, “Tumben hari gini sudah pulang” atau ”sering-sering aja pulang
malem!”.
Apa akibatnya?
Kebiasaan
ini akan membuat anak semakin menjadi-jadi dan menjaga jarak dengan
kita. Kita telah menyakiti hatinya dan membuatnya tidak ingin
berkomunikasi dengan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Tak
ada seorang pun yang berubah menjadi baik karena sindiran. Katakanlah
secara langsung apa yang kita inginkan dengan kalimat yang tidak
menyakiti hatinya. Katakan saja, “Sayang, Papa/mama khawatir akan
keselamatan kamu kalo kamu pulang terlalu malam.”
Kebiasaan 33 :
Memberikan julukan yang buruk
Kita dengan begitu mudahnya sering memberikan julukan yang buruk, seperti si gendut, si lemot, si cengeng, biang kerok, dsb.
Apa akibatnya?
Kebiasaan
memberikan julukan yang buruk pada anak akan mengakibatkan rasa rendah
diri, tidak percaya diri/minder, kebencian dan perlawanan. Adakalanya
anak ingin membuktikan kehebatan julukan tersebut pada orang tuanya.
Misal, anak yang diberi julukan biang kerok, ia akan berpikir bahwa apa
yang diperbuatnya tidaklah keliru, karena memang dia adalah biang kerok.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Gantilah
segera julukan yang buruk dengan yang baik, seperti anak baik, anak
hebat, anak bijaksana atau panggil dia dengan nama panggilan yang
disukainya saja. Cobalah tanya pada anak kita, panggilan apa yang
disukainya. Anak pasti akan lebih menyukai kita.
Kebiasaan 34 :
Mengumpan anak yang rewel
Kita
sering mengalihkan perhatian anak kepada hal/barang lain pada saat anak
kita marah, merengek, menangis atau meminta sesuatu dengan memaksa.
Contohnya, “Tuh lihat tuh ada kakak pake baju warna apa tuh…?” atau
“Lihat ini lihat, gambar apa ya lucu banget?”.
Apa akibatnya?
Pada
saat anak kita sedang fokus pada apa yang diinginkan, ia akan memancing
emosi kita dan emosinya sendiri akan menjadi sensitif. Ia tidak ingin
dialihkan ke hal lain jika masalah ini belum ada kata sepakat
penyelesainnya. Semakin kita berusaha mengalihkannya, semakin marah anak
kita.
Apa yang sebaiknya dilakukan?
Selesaikan
apa yang diinginkan anak kita dengan membicarakanya dan membuat
kesepakatan di tempat, jika kita belum membuat kesepakatan di rumah.
Katakan secara langsung apa yang kita inginkan, seperti, “Papa/mama
belum bisa membelikan mainan itu sekarang. Jika kamu mau harus menabung
dulu. Nanti papa/mama ajari kamu cara menabung. Bila kamu terus
merengek, kita tidak jadi jalan-jalan dan langsung pulang”. Jika anak
tetap merengek, segeralah kita pulang meski urusan belanja belum
selesai. Untuk urusan belanja, kita masih bisa menundanya, tapi jangan
sekali-kali menunda dalam mendidik anak.
Kebiasaan 36 :
Televisi sebagai agen pendidik anak
Menurut
penelitian, sebagian besar perilaku buruk ditiru anak dari media visual
dan sebagian lagi dari media cetak dan lingkungan. Jika kita membiarkan
anak kita berlama-lama menonton TV, maka kita telah menyerahkan anak
kita untuk dididik oleh ibu kedua.
Apa akibatnya?
Perilaku anak terbentuk karena 4 hal, yaitu :
- Terbentuk berdasarkan Siapa yang lebih dulu mengajarkan kepadanya : kita atau TV?
- Terbentuk oleh siapa yang lebih dia percaya, apakah pada kata-kata kita atau ketepatan waktu program-program TV?
- Terbentuk oleh siapa yang menyampaikan lebih menyenangkan, Apakah kita atau program-program TV?
- Terbentuk oleh siapa yang lebih sering menemaninya, kita atau program-program TV yang sangat setia menemani anak kita.
- Bangun komunikasi dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 hal tsb diatas.
- Ganti kegiatan menonton TV anak dengan kegiatan di rumah atau diluar rumah yang padat bagi anak-anak.
- Gantilah program TV di rumah dengan film-film pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang mulai dari film kartun hingga CD dalam bentuk permainan edukatif.
- Bangun komunikasi dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 hal tsb diatas.
- Ganti kegiatan menonton TV anak dengan kegiatan di rumah atau diluar rumah yang padat bagi anak-anak.
- Gantilah program TV di rumah dengan film-film pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang mulai dari film kartun hingga CD dalam bentuk permainan edukatif.
Kebiasaan 37 :
Mengajari anak untuk membalas
Bila
anak kita dipukul oleh anak lain, sering kita menjadi tidak sabar dan
memprovokasi anak untuk membalas dengan tindakan yang sama seperti anak
lain itu. Alasan yang sering kita utarakan adalah supaya ada keadilan,
masing-masing merasakan sakit.
Apa akibatnya?
Kita
telah mendidik anak kita sendiri untuk mendendam dengan selalu membalas
segala bentuk pukulan atau tindakan menyakiti lain yang diterimanya.
Anak akan teringat terus hal-hal yang diajarkan oleh kita tentang konsep
membalas itu. Jangan kaget bila anak kita sering membalas atau
membalikkan apa yang kita sampaikan kepadanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Lebih
baik kita mengajarkan anak untuk menghindari teman-temannya yang suka
menyakiti. Lalu sampaikan pada orang tua yang bersangkutan bahwa anak
kita sering mendapat perlakuan buruk dari anaknya dan ajak orang tua
anak yang suka memukul untuk mengikuti program parenting baik di radio
maupun media lainnya.
(Sumber
: iyansomnia)